STRATEGI MODELING SEBAGAI INTERNALISASI NILAI RELIGIUS
PANCASILA DALAM KEHIDUPAN KAMPUS
Oleh:
Nunung Nurhayati (40213164)
Jurusan PGSD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Peradaban
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di indonesia banyak sekali mahasiswa
yang tidak tahu mengenai pancasila apa lagi tentang arti simbol-simbol yang berada
di dada garuda. Apa lagi tentang nilai pancasila yang yang selalu menjadi
pedoman bangsa Indonesia yang menjadi idelogi bangsa, yang menjadikan bangsa
indonesia berbeda dengan bangsa
yang lain yang menganut system liberan. Tapi
dalam kenyataan hanya sedikit yang menerapkan pendidikkan pancasila di
perguruan tinggi.
Norma yang ada dalam pancasila bila tidak
perkenalkan kepada mahasiswa sejak awal akan
berakibat hilangnya semua tentang norma-norma yang berlaku di indoneisa, begitu juga nilai-nilai yang
terkadung dalam pancasila yang sangat berguna untuk kehidupan mahasiwa itu
sendiri. Untuk itu perlu adanya strategi guna
menginternalisasikan nilai-nilai pancasila pada mahasiswa.
B.
Rumusan
Masalah
- Apa yang di maksud dengan Internalisasi?
- Apa arti Nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila?
- Bagaimana strategi dalam menginternalisasikan nilai religius pada mahasiswa di kampus?
C.
Tujuan
- Mampu memahami apa arti dan makna internalisasi.
- Memahami dan mengerti nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.
- Dapat mengaplikasikan salah satu strategi guna menginternalisasikan nilai religius pada mahasiswa di kampus.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Internalisasi
Secara etimologi
Internalisasi berasal dari kata Intern atau Internal yang berarti
bagian dalam atau di dalam, sedangkan Internalisasi berarti penghayatan.[1]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia internalisasi merupakan suatu proses
penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga keyakinan akan
kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. [2]
Internalisasi adalah proses pemasukan nilai pada seseorang yang akan
membentuk pola pikirnya dalam melihat makna realitas pengalaman. Nilai-nilai
tersebut bisa jadi berbagai aspek baik agama, budaya, norma sosial dll.
Pemaknaan atas nilai inilah yang mewarnai pemaknaan dan penyikapan manusia
terhadap lingkungan dan kenyataan di sekelilingnya.
Berger dan Luckmann (1990:87) menyatakan, dalam internalisasi,
individu mengidentifikasikan diri dengan berbagai lembaga sosial atau
organisasi sosial dimana individu menjadi anggotanya. Internalisasi merupakan
peresapan kembali realitas oleh manusia dan mentransformasikannya kembali dari
struktur-struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran
subjektif.[3]Masyarakat Kebudayaan dan
Politik” Mem Bandura, dalam situasi sosial ternyata orang bisa belajar
lebih cepat dengan mengamati atau melihat tingkah laku orang lain.[4]
Dan dalam suatu usaha dalam menerapkan Nilai-nilai Notonagoro mengajukan
empat langkah yang harus ditempuh yaitu:
1.
Para pendidik terlebih dahulu
harus tahu dan jelas dengan akal budinya, memahami dengan hatinya nilai-nilai
apa saja yang akan di ajarkan pada peserta didik.
2.
Para pendidik
mentrasnformasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik dengan sentuhan
hati dan perasaan, melalui contoh keteladanan pendidik sehingga peserta didik
dapat melihat alangkah baiknya nilai itu.
3.
Membantu peserta didik untuk
menginternalisasikan nilai-nilai tersebut tidak hanya dalam akal budinya tetapi
dalam sanubari peserta didik agar nilai-nilai tersebut merasa dimiliki dan
menjadikan landasan bertingkah laku.
4.
Peserta didik yang telah merasa
memiliki sifat-sifat dan sikap hidup sesuai dengan nilai-nilai tersebut akan
terwujud dalam tingkah laku kehidupan sehari-hari.[5]
Internalisasi dilakukan dalam berbagai macam konteks lingkungan
masyarakat, sehingga strategi dan metode yang diterapkan harus sesuai dengan
lingkungan sosial masyarakat pada tingkat pengetahuan serta karakteristik
masyarakat.[6]
B.
Nilai-nilai
Bentuk-bentuk nilai lain yang sebaiknya diajarkan di sekolah adalah
nilai kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong
menolong, peduli sesama, kerjasama, keberanian, dan sikap demokratis,
nilai-nilai khusus tersebut merupakan bentuk dari rasa hormat dan tanggung
jawab ataupun sebagai media pendukung untuk bersikap hormat dan bertanggung
jawab.[7]
Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai,
diinginkan, dikejar, dihargai berguna dan dapat membuat orang yang
menghayatinya menjadi bermartabat, nilai merupakan preferensi yang tercermin
dari perilaku dan nilai akan selalu berhubungan dengan kebaikan, kebajikan dan
keluhuran budi serta akan menjadi sesuatu yang dihargai dan dijunjung tinggi
serta dikejar oleh seseorang sehingga ia merasakan kepuasan dan merasa menjadi
manusia yang sempurna.[8]
Kemudian terdapat berbagai macam pandangan tentang nilai dan hal ini
sangat tergantung pada titik tolak ukur dan sudut pandangnya masing-masing
dalam menentukan tentang pengertian serta hierarki nilai, misalnya kalangan
nilai materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai materi, kalangan
hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah kenikmatan. Pada
hakikatnya segala sesuatu itu bernilai hanya nilai macam apa yang ada serta
bagaimana hubungan tersebut dan penggolongan tersebut amat beraneka ragam,
tergantung pada sudut pandang dalam rangka penggolongan tersebut.[9]
Banyak ragam nilai dan karakter yang penting dan perlu diperkenalkan
pada anak sehingga bisa membentuk pribadi yang berwatak baik dan menunjang
keberhasilan anak kelak ketika hidup di masyarakat. Melalui sekolah yang
dipandang sangat efektif untuk bisa membudayakan apa yang sering disebut dengan
Nilai-nilai budi pekerti.[10]
Kebudayaan pada nilai-nilai sosial ialah nilai-nilai yang disepakati
dan tertanam dalam suatu masyarakat lingkup organisasi, lingkungan masyarakat
yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan, sebagai acuan perilaku dan
tanggapan atas apa yang akan terjadi dan sedang terjadi. Budaya merupakan
sebuah proses pemahaman bukan hanya untuk memahami alam atau realitas eksternal
melainkan juga sistem sosial yang merupakan bagian dari identitas sosial
tersebut.[11]
C.
Pancasila
1.
Pengertian Pancasila
Pancasila tidak lahir secara mendadak pada
tahun 1945, melainkan telah melalui proses yang panjang, dimatangkan oleh
sejarah perjuangan bangsa Indonesia, dengan melihat pengalaman bangsa-bangsa
lain, dengan diilhami oleh gagasan-gagasan besar dunia dan dengan tetap berakar
pada kepribadian bangsa Indonesia dan gagasan-gagasan besar bangsa Indonesia
sendiri.
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada
hakikatnya merupakan sistem filsafat. Sistem adalah suatu kesatuan da
bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerja sama untuk satu tujuan
tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Suatu kesatuan bagian-bagian,
b. Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri,
c. Saling berhubungan, saling ketergantungan,
d. Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama,
e. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian
yaitu sila-sila Pancasila, setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas
sendiri, fungsi sendiri-sendiri untuk tujuan tertentu, yaitu suatu masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.[12] Pancasila dalam
kehidupannya sering disebut sebagai dasar filsafat atau dasar falsafah negara (philosoficche
Gronslag) dari negara, ideologi negara atau (staatsidee). Dalam
pengertian ini Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur
pemerintahan negara atau suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara.[13]
Sehingga Pancasila adalah dasar Negara
Republik Indonesia. Sebagai pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia,
nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila diambil dari akar budaya
bangsa kita sendiri, bukan dari budaya asing. Secara turun temurun nilai-nilai
yang ada dalam Pancasila tertanam dalam diri setiap warga negara Indonesia.
Sebagai dasar Negara Pancasila memiliki nilai-nilai yang dituangkan dalam
butir-butir Pancasila.[14]
Dalam suatu penghayatan material Pancasila
yaitu sebagai jiwa bangsa, kepribadian bangsa, pandangan hidup bangsa, sarana
tujuan hidup bangsa, pedoman hidup bangsa, filsafat hidup bangsa, perjanjian
luhur Bangsa Indonesia, sebagai dasar NKRI dan sumber Hukum NKRI. Dan berfungsi
sebagai Dasar Negara yang pada hakikatnya sebagai sumber dari segala sumber
hukum Indonesia.[15]
2.
Nilai-nilai Pancasila
Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara
membuat bangsa Indonesia memiliki pondasi dan pendirian yang kokoh untuk terus
berkembang sesuai dengan perkembangan jaman dan tidak terpengaruh atau goyah
dengan gangguan dari pihak luar yang berusaha untuk mengganggu stabilitas
bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara
serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu
nilai-nilai yang bersifat sistematis oleh karena itu sebagai suatu dasar
filsafat maka sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hierarki
dan sistematis, dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila merupakan
suatu sistem filsafat. Karena merupakan suatu sistem filsafat maka kelima sila
bukan terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri melainkan memiliki
esensi yang utuh.[16]
Sebagai suatu dasar filsafat negara maka
sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem nilai, oleh karena itu sila-sila
Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Meskipun dalam setiap sila
terkandung nila-nilai yang memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya
namun kesemuanya itu tidak lain merupakan suatu kesatuan yang sistematis namun
tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan sila-sila lainnya.[17]
Nilai merupakan hal yang terkandung dalam
hati nurani manusia yang lebih memberi dasar dan prinsip akhlak yang merupakan
standar dari keindahan dan efisiensi atau keutuhan kata hati. Langkah – langkah
awal dari nilai adalah seperti halnya ide manusia yang merupakan potensi pokok.
Nilai tidak tampak dalam dunia pengalaman. Tapi dia nyata dalam jiwa manusia.
Notonagoro salah seorang pemikir Indonesia
yang mengembangkan pancasila secara kefilsafatan, dan membagi nilai menjadi
tiga macam yaitu:
a.
Nilai material, segala sesuatu
yang berguna bagi unsur jasmani manusia, misalnya buah-buahan, makanan,
sayuran, yang semuanya berguna untuk jasmani manusia.
b.
Nilai vital, segala sesuatu
yang berguna bagi manusia peralatan-peralatan untuk membantu kerja manusia.
c.
Nilai kerohanian, segala
sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian ini dibedakan
menjadi 4 macam:
1)
Nilai kebenaran yang bersumber
pada unsur akal manusia (cipta), misal pertanyaan-pertanyaan dalam bidang
ilmiah.
2)
Nilai kebaikan yang bersumber
pada unsur kehendak manusia (karsa), misal hidup sejahtera, menyumbang yang
terkena bencana alam.
3)
Nilai keindahan yang bersumber
pada unsur rasa manusia (rasa), misal menikmati hasil karya seni menikmati
pemandangan alam.
4)
Nilai religius yang bersumber
pada kepercayaan ketuhanan (kepercayaan), memenuhi perintah Tuhan Yang Maha
Esa.[18]
Hal ini dapat terlihat pada susunan Pancasila yang secara sistematik
dan hirarkis yaitu bahwa nilai–nilai sila dalam Pancasila tersebut saling
mendasari dimulai dari “Ketuhanan Yang Maha Esa” sampai dengan sila “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” bahwa yang baik adalah tindakan yang
menimbulkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi manusia.
Nilai sila setiap Pancasila juga mengandung nilai, adapun
nilai-nilai yang terkandung dalam sila adalah sebagai berikut:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini
nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila Ketuhanan
Yang Maha Esa adalah sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk
Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara bahkan moral negara, moral penyelenggara
negara, politik negara, pemerintahan negara, hukum dan peraturan
perundang-undangan negara, kebebasan dan hak asasi warga negara harus menjiwai
nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Dalam sila kemanusiaan terkandung
nilai-nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
sebagai makhluk yang beradab. Nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa hakikat
manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil. Bahwa
hakikat manusia harus adil dalam hubungan diri sendiri, adil terhadap manusia
lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya
serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kehidupan kenegaraan harus
senantiasa dilandasi oleh moral kemanusiaan antara lain dalam kehidupan
pemerintah negara, politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya pertahanan dan
keamanan serta dalam kehidupan keagamaan.
3. Persatuan
Indonesia
Dalam sila
Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat
kodrat manusia yaitu sebagai makhluk individu dan sosial. Negara merupakan
suatu persekutuan hidup bersama diantara elemen-elemen yang membentuk negara
yang berupa, suku, ras, kelompok, dan agama untuk merealisasikan seluruh
potensinya dalam kehidupan bersama yang bersifat integral.
Oleh karena itu
perbedaan merupakan bawaan kodrat manusia, beraneka ragam tetapi satu mengikat
diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam simbol Bhinneka Tunggal Ika.
Perbedaan bukan untuk diruncingkan menjadi konflik dan permusuhan melainkan
untuk saling menguntungkan persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan
tujuan bersama sebagai bangsa Indonesia.
4. Kerakyatan
yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
Nilai yang
terkandung dalam sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan didasari oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Persatuan Indonesia, dan mendasari
serta menjiwai sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam sila ke-4 tersebut dikongkritisasikan dalam
kehidupan bersama yaitu kehidupan kenegaraan baik menyangkut aspek moralitas
kenegaraan, aspek politik, maupun aspek hukum dan perundang-undangan. Sehingga
dalam sila kerakyatan terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan
dalam hidup negara.
5. Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Nilai yang
terkandung dalam sila ke-5 didasari oleh sila ketuhanan yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, serta kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dalam sila
kelima terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan dalam
hidup bersama atau keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama
((kehidupan sosial). Dan keadilan tersebut juga didasari dalam hubungan manusia
dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain, masyarakat, bangsa
negaranya dan manusia dengan Tuhannya.[19]
Demikianlah nilai-nilai keadilan tersebut
sebagai dasar dalam pergaulan antar negara sesama bangsa di dunia dan prinsip
ingin menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antar bangsa
di dunia dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian
abadi serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).
Sehingga dalam Sila ke-1 adanya kebebasan
yang harus disertai dengan tanggung jawab baik terhadap masyarakat bangsa
maupun secara moral terhadap Tuhan yang Maha Esa, Sila ke-2 menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, sila ke-3
menjamin dan memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama, Sila ke-4
mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setiap individu, kelompok, ras,
suku, agama, karena perbedaan adalah merupakan suatu bawaan kodrat manusia,
Sila ke-5 mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setiap individu,
kelompok, ras, suku maupun agama yang mengarahkan perbedaan dalam suatu kerja
sama kemanusiaan yang beradab serta menjunjung tinggi asas musyawarah dan mendasarkan
suatu keadilan dalam kehidupan agar tercapainya tujuan bersama.[20]
Realisasi nilai-nilai Pancasila dasar filsafat Negara Indonesia.
Perlu secara berangsur-angsur dengan jalan pendidikan baik di sekolah dalam
masyarakat dan keluarga sehingga diperoleh hal-hal sebagai berikut Pengetahuan,
yaitu suatu pengetahuan yang benar tentang Pancasila baik aspek nilai,
norma maupun aspek praksisnya. Hal ini dapat disesuaikan dengan tingkat
pengetahuan dan kemampuan individu. Kesadaran, yang selalu mengetahui pertumbuhan
keadaan yang ada dalam diri sendiri. Ketaatan, yaitu selalu dalam
keadaan kesediaan untuk memenuhi wajib lahir dan batin dari diri sendiri. Kemampuan
kehendak, yang cukup kuat sebagai pendorong untuk melakukan perbuatan. Watak
dan hati nurani, agar orang selalu mawas diri.[21]
D.
Strategi Keteladanan (Modelling)
Strategi
keteladanan ini dapat dibedakan menjadi keteladanan internal (internal
modelling) dan keteladanan eksternal (external modelling) [22].
1. Keteladanan Internal
Dapat
dilakukan melalui pemberian contoh yang dilakukan oleh dosen sendiri dalam
proses pembelajaran, dengan cara mengawali dan mengakhiri setiap perkuliahan
dengan berdoa. Dosen senantiasa memberi contoh untuk disiplin dalam beberapa
hal seperti kebersihan ruang kelas, datang tepat waktu, dan memiliki komitmen
terhadap kontrak belajar yang telah disepakati bersama. Untuk dapat menjadi
teladan yang baik diperlukan suatu proses yang panjang. Seorang dosen melalui
kebiasaan-kebiasaan baik yang selalu dia lakukan didalam kelas dapat diteladani
oleh mahasiswa.
Melalui
pemberian atau cerita tentang ”pengalaman religius” yang dialami oleh dosen.
Terkadang ada seorang dosen yang memiliki pengalaman religius menarik dalam
hidupnya, dan hal itu menjadi sesuatu menarik yang dapat diteladani oleh
mahasiswa. Sebagai contoh mengenai kekuatan sebuah doa yang mengalahkan
segala-galanya. Kedekatan kepada Allah sebagai Tuhan yang Maha Pengasih dan
Penyayang telah mengantarkan kepada suatu kesuksesan yang mungkin tidak
disangka sebelumnya. Pengalaman semacam ini menunjukkan pentingnya pemahaman tentang
keberadaan sesuatu Yang Maha Kuasa di atas segalanya. Artinya, pemahaman
tentang nilai-nilai religius terutama terkait dengan nilai ketaqwaan dalam
kehidupan seorang manusia menjadi suatu hal yang penting.
2. Keteladanan Eksternal
Dilakukan
dengan pemberian contoh-contoh yang baik dari para tokoh yang dapat diteladani,
baik tokoh lokal maupun tokoh internasional. Keteladanan eksternal yaitu
keteladanan yang datang dari luar diri dosen. Keteladanan semacam ini dapat
dilakukan misalnya dengan menyajikan cerita tentang tokoh-tokoh agama yang
dapat dijadikan sebagai teladan dalam meniti kehidupan. Sebagai
contoh, tokoh Nabi Muhammad, para sahabat nabi, Jenderal Besar Soedirman, dan
tokoh-tokoh penting lain baik di Indonesia maupun di luar Indonesia yang patut
untuk diteladani.
Penyajian
cerita yang menarik tentang kisah para tokoh tersebut diharapkan menjadikan
mahasiswa mengidolakan dan meniru tindakan positif yang mereka lakukan. Para
tokoh tersebut memiliki sikap ketaqwaan, kejujuran, keikhlasan, dan
tanggungjawab yang dapat diteladani oleh para mahasiswa. Nabi Muhammad
merupakan contoh atau teladan sosok manusia yang memiliki ketaqwaan luar biasa yang
patut untuk diteladani.
Selain
melalui kisah para tokoh teladan, dapat dilakukan dengan memutarkan film-film
tokoh. Misalnya keteladanan tentang kegigihan seorang penulis melalui film freedom
writers. Atau kisah-kisah terbaru seperti film ”Laskar Pelangi”. Dari
kisah-kisah yang disajikan melalui film tersebut mahasiswa dapat memetik suatu
hikmah yang bermanfaat untuk dirinya. Kejujuran, keikhlasan, tanggungjawab,
kepolosan, kegigihan, kerja keras, dan masih banyak lagi nilai-nilai moral yang
dapat diteladani melalui cerita film yang ditayangkan di dalam kelas. Mahasiswa
dapat menganalisis dan mendiskusikan cerita film yang ditayangkan di dalam
kelas, sehingga suasana pembelajaranpun akan menjadi lebih menarik.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Pancasila tak bisa terlepas dari tata kehidupan rakyat sehari-hari
mengingat Pancasila merupakan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita moral
yang meliputi seluruh jiwa dan watak yang telah berurat-berakar dalam
kebudayaan bangsa Indonesia. Kebudayaan bangsa Indonesia sejak dahulu kala
telah menegaskan bahwa hidup dan kehidupan manusia bisa mencapai kebahagiaan
jika dikembangkan secara selaras dan seimbang baik dalam pergaulan antar
anggota masyarakat selaku pribadi, hubungan manusia dengan komunitas, hubungan
dengan alam, maupun hubungan dengan Sang Khalik.
Internalisasi nilai-nilai moral religius perlu dilakukan dalam
keseluruhan proses pendidikan di kelas, dalam kegiatan ekstra dan intra kampus,
dalam proses bimbingan dengan penasihat akademik, dan dalam semua aspek
kehidupan. Mahasiwa dapat melakukan hal ini melalui kegiatan diskusi kelompok,
penggunaan bahan-bahan bacaan dan topik-topik tulisan mengenai kebaikan,
penggunaan strategi dan klarifikasi nilai dan dilema moral, tidak merokok,
tidak berperilaku korup, dermawan, tidak berbohong, dan sebagainya.
Internalisasi nilai-nilai moral religius dapat dilakukan oleh setiap dosen,
baik terencana ataupun tidak terencana.
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo J.R. 2013. Pembelajaran Nilai Karakter. Jakarta:
Rajawali Pers.
Bakry, Noor Ms. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Bay. 2011. “Pengertian Internalisasi Belajar”. Diakses 8 April 2016.
Dalam http://bayoscreamo.blogspot.com/2011/10/pengertian-internalisasi-belajar.html.
D.Gunarsa, Singgih. 1997. “Dasar dan Teori Perkembangan Anak”. Jakarta:
Gunung Mulia.
Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies. Bandung:
Jalasutra.
KBBI. “Internalisasi”. Diakses 8 April 2016. Dalam http://kbbi.web.id/internalisasi.
Lickona, Thomas. 2013. Educating for Character:How Our Schools
Can Teach Respect and Responsibility. Jakarta: Bumi Aksara.
Manuaba, Putra. Masyarakat Kebudayaan dan Politik” Memahami Teori
Konstruksi Sosial”, (Vol21,NO.3:221-230), Dalam http://mkp.fisip.unair.ac.id/
index.php?option=com_content&view=article&id=119:memahami-teori-konstruksi-sosial&catid=34:mkp&Itemid=62,
Diakses 8 April 2016.
Ma’arif, Syamsul Dkk. 2012. “School culture di madrasah dan
sekolah”. Penelitian kolektif : Semarang.
M.S, Kaelan dan Achmad Zubaidi. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan
Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma.
M.S, Kaelan. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta:
Paradigma.
M.S, Kaelan. 2013. Negara Kebangsaan Pancasila. Yogyakarta:
Paradigma.
Murdiono, Mukhamad “Strategi Internalisasi Nilai-nilai Religius
dalam Proses Pembelajaran”. FISE Universitas Negeri Yogyakarta.
Rahayu, Ani Sri. 2013. Pendidikan Pancasila &
Kewarganegaraan(PPKn). Jakarta: Bumi Aksara.
Sutoyo. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Umar, Arsyad dkk. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SD kelas
IV. Jakarta: Erlangga.
[1]
http://bayoscreamo.blogspot.com/2011/10/pengertian-internalisasi-belajar.html .
diakses 10 Oktober 2014
[2] http://kbbi.web.id/internalisasi. diakses 31 oktober
2014
[3] Masyarakat Kebudayaan
dan Politik” Memahami Teori Konstruksi Sosial”,Putera Manuaba,(Vol
21,NO.3:221-230), http://mkp.fisip.unair.ac.id/
index.php?option=com_content&view=article&id=119:memahami-teori-konstruksi-sosial&catid=34:mkp&Itemid=62,
diakses 7 November 2014.
[4] Singgih D Gunarsa, “Dasar
dan Teori Perkembangan Anak”, (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), hlm,184.
[5] Sutarjo Adisusilo,
J.R, Pembelajaran Nilai-Karakter, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm
73.
[6] Kaelan, M.S, Negara
Kebangsaan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma 2013), hlm.687.
[7] Thomas Lickona, Educating
for Character:How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2013),hlm,74.
[8] Sutarjo Adisusilo,
J.R, Pembelajaran Nilai-Karakter, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
hlm,56-57.
[9] Kaelan, M.S, Pendidikan
Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Paradigma, 2010), hlm .19.
[10] Syamsul Ma’arif, Dkk,
“School culture di madrasah dan sekolah”, (Penelitian kolektif :
Semarang 2012), hlm,58
[11] John Fiske, Cultural
and Communication Studies, (Bandung: Jalasutra, 2004), hlm,167.
[12] Ani Sri Rahayu, Pendidikan
Pancasila & Kewarganegaraan(PPKn), (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm,
9.
[13] Sutoyo, Pendidikan
kewarganegaraan untuk perguruan tinggi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011),
hlm, 20.
[14] Arsyad Umar ,dkk., Pendidikan
Kewarganegaraan untuk SD kelas IV, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm.79.
[15] Noor Ms Bakry, Pendidikan
Pancasila.,hlm,300.
[16] Ani Sri Rahayu, Pendidikan
Pancasila &Kewarganegaran, hlm, 25-26.
[17] Kaelan dan Achmad
Zubaidi, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta:
Paradigma, 2010), hlm. 31.
[18] Noor Ms Bakry, Pendidikan
Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 303.
[19] Kaelan., hlm,
31-36.
[20] Ani Sri Rahayu,
Pendidikan Pancasila &Kewarganegaran, hlm,36.
[21] Kaelan,M.S, Negara
Kebangsaan Pancasila,hlm.685.
[22] Mukhamad Murdiono.
“Strategi Internalisasi Nilai-nilai Religius dalam Proses Pembelajaran”. FISE
Universitas Negeri Yogyakarta. Hlm 103-104.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar