Minggu, 10 April 2016

STRATEGI MODELING SEBAGAI INTERNALISASI NILAI RELIGIUS PANCASILA DALAM KEHIDUPAN KAMPUS



STRATEGI MODELING SEBAGAI INTERNALISASI NILAI RELIGIUS PANCASILA DALAM KEHIDUPAN KAMPUS


Oleh:
Nunung Nurhayati (40213164)
 Jurusan PGSD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan 
Universitas Peradaban


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di indonesia banyak sekali mahasiswa yang tidak tahu mengenai pancasila apa lagi tentang arti simbol-simbol yang berada di dada garuda. Apa lagi tentang nilai pancasila yang yang selalu menjadi pedoman bangsa Indonesia yang menjadi idelogi bangsa, yang menjadikan bangsa indonesia berbeda dengan bangsa yang lain yang menganut system liberan. Tapi dalam kenyataan hanya sedikit yang menerapkan pendidikkan pancasila di perguruan tinggi.
Norma yang ada dalam pancasila bila tidak perkenalkan kepada mahasiswa sejak awal akan berakibat hilangnya semua tentang norma-norma yang berlaku di indoneisa, begitu juga nilai-nilai yang terkadung dalam pancasila yang sangat berguna untuk kehidupan mahasiwa itu sendiri. Untuk itu perlu adanya strategi guna menginternalisasikan nilai-nilai pancasila pada mahasiswa.

B.     Rumusan Masalah
  1. Apa yang di maksud dengan Internalisasi?
  2. Apa arti Nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila?
  3. Bagaimana strategi dalam menginternalisasikan nilai religius pada mahasiswa di kampus?

C.    Tujuan
  1. Mampu memahami apa arti dan makna internalisasi.
  2. Memahami dan mengerti nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila.
  3. Dapat mengaplikasikan salah satu strategi guna menginternalisasikan nilai religius pada mahasiswa di kampus.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Internalisasi
Secara etimologi Internalisasi berasal dari kata Intern atau Internal yang berarti bagian dalam atau di dalam, sedangkan Internalisasi berarti penghayatan.[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia internalisasi merupakan suatu proses penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga keyakinan akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. [2]
Internalisasi adalah proses pemasukan nilai pada seseorang yang akan membentuk pola pikirnya dalam melihat makna realitas pengalaman. Nilai-nilai tersebut bisa jadi berbagai aspek baik agama, budaya, norma sosial dll. Pemaknaan atas nilai inilah yang mewarnai pemaknaan dan penyikapan manusia terhadap lingkungan dan kenyataan di sekelilingnya.
Berger dan Luckmann (1990:87) menyatakan, dalam internalisasi, individu mengidentifikasikan diri dengan berbagai lembaga sosial atau organisasi sosial dimana individu menjadi anggotanya. Internalisasi merupakan peresapan kembali realitas oleh manusia dan mentransformasikannya kembali dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif.[3]Masyarakat Kebudayaan dan Politik” Mem Bandura, dalam situasi sosial ternyata orang bisa belajar lebih cepat dengan mengamati atau melihat tingkah laku orang lain.[4]
Dan dalam suatu usaha dalam menerapkan Nilai-nilai Notonagoro mengajukan empat langkah yang harus ditempuh yaitu:
1.      Para pendidik terlebih dahulu harus tahu dan jelas dengan akal budinya, memahami dengan hatinya nilai-nilai apa saja yang akan di ajarkan pada peserta didik.
2.      Para pendidik mentrasnformasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik dengan sentuhan hati dan perasaan, melalui contoh keteladanan pendidik sehingga peserta didik dapat melihat alangkah baiknya nilai itu.
3.      Membantu peserta didik untuk menginternalisasikan nilai-nilai tersebut tidak hanya dalam akal budinya tetapi dalam sanubari peserta didik agar nilai-nilai tersebut merasa dimiliki dan menjadikan landasan bertingkah laku.
4.      Peserta didik yang telah merasa memiliki sifat-sifat dan sikap hidup sesuai dengan nilai-nilai tersebut akan terwujud dalam tingkah laku kehidupan sehari-hari.[5]
Internalisasi dilakukan dalam berbagai macam konteks lingkungan masyarakat, sehingga strategi dan metode yang diterapkan harus sesuai dengan lingkungan sosial masyarakat pada tingkat pengetahuan serta karakteristik masyarakat.[6]

B.     Nilai-nilai
Bentuk-bentuk nilai lain yang sebaiknya diajarkan di sekolah adalah nilai kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong menolong, peduli sesama, kerjasama, keberanian, dan sikap demokratis, nilai-nilai khusus tersebut merupakan bentuk dari rasa hormat dan tanggung jawab ataupun sebagai media pendukung untuk bersikap hormat dan bertanggung jawab.[7]
Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi bermartabat, nilai merupakan preferensi yang tercermin dari perilaku dan nilai akan selalu berhubungan dengan kebaikan, kebajikan dan keluhuran budi serta akan menjadi sesuatu yang dihargai dan dijunjung tinggi serta dikejar oleh seseorang sehingga ia merasakan kepuasan dan merasa menjadi manusia yang sempurna.[8]
Kemudian terdapat berbagai macam pandangan tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak ukur dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian serta hierarki nilai, misalnya kalangan nilai materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai materi, kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah kenikmatan. Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan tersebut dan penggolongan tersebut amat beraneka ragam, tergantung pada sudut pandang dalam rangka penggolongan tersebut.[9]
Banyak ragam nilai dan karakter yang penting dan perlu diperkenalkan pada anak sehingga bisa membentuk pribadi yang berwatak baik dan menunjang keberhasilan anak kelak ketika hidup di masyarakat. Melalui sekolah yang dipandang sangat efektif untuk bisa membudayakan apa yang sering disebut dengan Nilai-nilai budi pekerti.[10]
Kebudayaan pada nilai-nilai sosial ialah nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat lingkup organisasi, lingkungan masyarakat yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan, sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi dan sedang terjadi. Budaya merupakan sebuah proses pemahaman bukan hanya untuk memahami alam atau realitas eksternal melainkan juga sistem sosial yang merupakan bagian dari identitas sosial tersebut.[11]

C.    Pancasila
1.      Pengertian Pancasila
Pancasila tidak lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan telah melalui proses yang panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa Indonesia, dengan melihat pengalaman bangsa-bangsa lain, dengan diilhami oleh gagasan-gagasan besar dunia dan dengan tetap berakar pada kepribadian bangsa Indonesia dan gagasan-gagasan besar bangsa Indonesia sendiri.
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Sistem adalah suatu kesatuan da bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerja sama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Suatu kesatuan bagian-bagian,
b. Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri,
c. Saling berhubungan, saling ketergantungan,
d. Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama,
e. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila, setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri untuk tujuan tertentu, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.[12] Pancasila dalam kehidupannya sering disebut sebagai dasar filsafat atau dasar falsafah negara (philosoficche Gronslag) dari negara, ideologi negara atau (staatsidee). Dalam pengertian ini Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara atau suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara.[13]
Sehingga Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia, nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila diambil dari akar budaya bangsa kita sendiri, bukan dari budaya asing. Secara turun temurun nilai-nilai yang ada dalam Pancasila tertanam dalam diri setiap warga negara Indonesia. Sebagai dasar Negara Pancasila memiliki nilai-nilai yang dituangkan dalam butir-butir Pancasila.[14]
Dalam suatu penghayatan material Pancasila yaitu sebagai jiwa bangsa, kepribadian bangsa, pandangan hidup bangsa, sarana tujuan hidup bangsa, pedoman hidup bangsa, filsafat hidup bangsa, perjanjian luhur Bangsa Indonesia, sebagai dasar NKRI dan sumber Hukum NKRI. Dan berfungsi sebagai Dasar Negara yang pada hakikatnya sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia.[15]
2.      Nilai-nilai Pancasila
Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara membuat bangsa Indonesia memiliki pondasi dan pendirian yang kokoh untuk terus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman dan tidak terpengaruh atau goyah dengan gangguan dari pihak luar yang berusaha untuk mengganggu stabilitas bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis oleh karena itu sebagai suatu dasar filsafat maka sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hierarki dan sistematis, dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Karena merupakan suatu sistem filsafat maka kelima sila bukan terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri melainkan memiliki esensi yang utuh.[16]
Sebagai suatu dasar filsafat negara maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem nilai, oleh karena itu sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Meskipun dalam setiap sila terkandung nila-nilai yang memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya namun kesemuanya itu tidak lain merupakan suatu kesatuan yang sistematis namun tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan sila-sila lainnya.[17]
Nilai merupakan hal yang terkandung dalam hati nurani manusia yang lebih memberi dasar dan prinsip akhlak yang merupakan standar dari keindahan dan efisiensi atau keutuhan kata hati. Langkah – langkah awal dari nilai adalah seperti halnya ide manusia yang merupakan potensi pokok. Nilai tidak tampak dalam dunia pengalaman. Tapi dia nyata dalam jiwa manusia.
Notonagoro salah seorang pemikir Indonesia yang mengembangkan pancasila secara kefilsafatan, dan membagi nilai menjadi tiga macam yaitu:
a.       Nilai material, segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia, misalnya buah-buahan, makanan, sayuran, yang semuanya berguna untuk jasmani manusia.
b.      Nilai vital, segala sesuatu yang berguna bagi manusia peralatan-peralatan untuk membantu kerja manusia.
c.       Nilai kerohanian, segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian ini dibedakan menjadi 4 macam:
1)      Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal manusia (cipta), misal pertanyaan-pertanyaan dalam bidang ilmiah.
2)      Nilai kebaikan yang bersumber pada unsur kehendak manusia (karsa), misal hidup sejahtera, menyumbang yang terkena bencana alam.
3)      Nilai keindahan yang bersumber pada unsur rasa manusia (rasa), misal menikmati hasil karya seni menikmati pemandangan alam.
4)      Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan ketuhanan (kepercayaan), memenuhi perintah Tuhan Yang Maha Esa.[18]
Hal ini dapat terlihat pada susunan Pancasila yang secara sistematik dan hirarkis yaitu bahwa nilai–nilai sila dalam Pancasila tersebut saling mendasari dimulai dari “Ketuhanan Yang Maha Esa” sampai dengan sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” bahwa yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi manusia.
Nilai sila setiap Pancasila juga mengandung nilai, adapun nilai-nilai yang terkandung dalam sila adalah sebagai berikut:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara bahkan moral negara, moral penyelenggara negara, politik negara, pemerintahan negara, hukum dan peraturan perundang-undangan negara, kebebasan dan hak asasi warga negara harus menjiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Dalam sila kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. Nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil. Bahwa hakikat manusia harus adil dalam hubungan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kehidupan kenegaraan harus senantiasa dilandasi oleh moral kemanusiaan antara lain dalam kehidupan pemerintah negara, politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya pertahanan dan keamanan serta dalam kehidupan keagamaan.
3.      Persatuan Indonesia
Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia yaitu sebagai makhluk individu dan sosial. Negara merupakan suatu persekutuan hidup bersama diantara elemen-elemen yang membentuk negara yang berupa, suku, ras, kelompok, dan agama untuk merealisasikan seluruh potensinya dalam kehidupan bersama yang bersifat integral.
Oleh karena itu perbedaan merupakan bawaan kodrat manusia, beraneka ragam tetapi satu mengikat diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam simbol Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan bukan untuk diruncingkan menjadi konflik dan permusuhan melainkan untuk saling menguntungkan persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama sebagai bangsa Indonesia.
4.      Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
Nilai yang terkandung dalam sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan didasari oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Persatuan Indonesia, dan mendasari serta menjiwai sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam sila ke-4 tersebut dikongkritisasikan dalam kehidupan bersama yaitu kehidupan kenegaraan baik menyangkut aspek moralitas kenegaraan, aspek politik, maupun aspek hukum dan perundang-undangan. Sehingga dalam sila kerakyatan terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam hidup negara.
5.      Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Nilai yang terkandung dalam sila ke-5 didasari oleh sila ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, serta kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dalam sila kelima terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan dalam hidup bersama atau keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama ((kehidupan sosial). Dan keadilan tersebut juga didasari dalam hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain, masyarakat, bangsa negaranya dan manusia dengan Tuhannya.[19]
Demikianlah nilai-nilai keadilan tersebut sebagai dasar dalam pergaulan antar negara sesama bangsa di dunia dan prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antar bangsa di dunia dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian abadi serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).
Sehingga dalam Sila ke-1 adanya kebebasan yang harus disertai dengan tanggung jawab baik terhadap masyarakat bangsa maupun secara moral terhadap Tuhan yang Maha Esa, Sila ke-2 menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, sila ke-3 menjamin dan memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama, Sila ke-4 mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setiap individu, kelompok, ras, suku, agama, karena perbedaan adalah merupakan suatu bawaan kodrat manusia, Sila ke-5 mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setiap individu, kelompok, ras, suku maupun agama yang mengarahkan perbedaan dalam suatu kerja sama kemanusiaan yang beradab serta menjunjung tinggi asas musyawarah dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan agar tercapainya tujuan bersama.[20]
Realisasi nilai-nilai Pancasila dasar filsafat Negara Indonesia. Perlu secara berangsur-angsur dengan jalan pendidikan baik di sekolah dalam masyarakat dan keluarga sehingga diperoleh hal-hal sebagai berikut Pengetahuan, yaitu suatu pengetahuan yang benar tentang Pancasila baik aspek nilai, norma maupun aspek praksisnya. Hal ini dapat disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dan kemampuan individu. Kesadaran, yang selalu mengetahui pertumbuhan keadaan yang ada dalam diri sendiri. Ketaatan, yaitu selalu dalam keadaan kesediaan untuk memenuhi wajib lahir dan batin dari diri sendiri. Kemampuan kehendak, yang cukup kuat sebagai pendorong untuk melakukan perbuatan. Watak dan hati nurani, agar orang selalu mawas diri.[21]





D.    Strategi Keteladanan (Modelling)
Strategi keteladanan ini dapat dibedakan menjadi keteladanan internal (internal modelling) dan keteladanan eksternal (external modelling) [22].
1.      Keteladanan Internal
Dapat dilakukan melalui pemberian contoh yang dilakukan oleh dosen sendiri dalam proses pembelajaran, dengan cara mengawali dan mengakhiri setiap perkuliahan dengan berdoa. Dosen senantiasa memberi contoh untuk disiplin dalam beberapa hal seperti kebersihan ruang kelas, datang tepat waktu, dan memiliki komitmen terhadap kontrak belajar yang telah disepakati bersama. Untuk dapat menjadi teladan yang baik diperlukan suatu proses yang panjang. Seorang dosen melalui kebiasaan-kebiasaan baik yang selalu dia lakukan didalam kelas dapat diteladani oleh mahasiswa.
Melalui pemberian atau cerita tentang ”pengalaman religius” yang dialami oleh dosen. Terkadang ada seorang dosen yang memiliki pengalaman religius menarik dalam hidupnya, dan hal itu menjadi sesuatu menarik yang dapat diteladani oleh mahasiswa. Sebagai contoh mengenai kekuatan sebuah doa yang mengalahkan segala-galanya. Kedekatan kepada Allah sebagai Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang telah mengantarkan kepada suatu kesuksesan yang mungkin tidak disangka sebelumnya. Pengalaman semacam ini menunjukkan pentingnya pemahaman tentang keberadaan sesuatu Yang Maha Kuasa di atas segalanya. Artinya, pemahaman tentang nilai-nilai religius terutama terkait dengan nilai ketaqwaan dalam kehidupan seorang manusia menjadi suatu hal yang penting.
2.      Keteladanan Eksternal
Dilakukan dengan pemberian contoh-contoh yang baik dari para tokoh yang dapat diteladani, baik tokoh lokal maupun tokoh internasional. Keteladanan eksternal yaitu keteladanan yang datang dari luar diri dosen. Keteladanan semacam ini dapat dilakukan misalnya dengan menyajikan cerita tentang tokoh-tokoh agama yang dapat dijadikan sebagai teladan dalam meniti kehidupan. Sebagai contoh, tokoh Nabi Muhammad, para sahabat nabi, Jenderal Besar Soedirman, dan tokoh-tokoh penting lain baik di Indonesia maupun di luar Indonesia yang patut untuk diteladani.
Penyajian cerita yang menarik tentang kisah para tokoh tersebut diharapkan menjadikan mahasiswa mengidolakan dan meniru tindakan positif yang mereka lakukan. Para tokoh tersebut memiliki sikap ketaqwaan, kejujuran, keikhlasan, dan tanggungjawab yang dapat diteladani oleh para mahasiswa. Nabi Muhammad merupakan contoh atau teladan sosok manusia yang memiliki ketaqwaan luar biasa yang patut untuk diteladani.
Selain melalui kisah para tokoh teladan, dapat dilakukan dengan memutarkan film-film tokoh. Misalnya keteladanan tentang kegigihan seorang penulis melalui film freedom writers. Atau kisah-kisah terbaru seperti film ”Laskar Pelangi”. Dari kisah-kisah yang disajikan melalui film tersebut mahasiswa dapat memetik suatu hikmah yang bermanfaat untuk dirinya. Kejujuran, keikhlasan, tanggungjawab, kepolosan, kegigihan, kerja keras, dan masih banyak lagi nilai-nilai moral yang dapat diteladani melalui cerita film yang ditayangkan di dalam kelas. Mahasiswa dapat menganalisis dan mendiskusikan cerita film yang ditayangkan di dalam kelas, sehingga suasana pembelajaranpun akan menjadi lebih menarik.










BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
Pancasila tak bisa terlepas dari tata kehidupan rakyat sehari-hari mengingat Pancasila merupakan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita moral yang meliputi seluruh jiwa dan watak yang telah berurat-berakar dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Kebudayaan bangsa Indonesia sejak dahulu kala telah menegaskan bahwa hidup dan kehidupan manusia bisa mencapai kebahagiaan jika dikembangkan secara selaras dan seimbang baik dalam pergaulan antar anggota masyarakat selaku pribadi, hubungan manusia dengan komunitas, hubungan dengan alam, maupun hubungan dengan Sang Khalik.
Internalisasi nilai-nilai moral religius perlu dilakukan dalam keseluruhan proses pendidikan di kelas, dalam kegiatan ekstra dan intra kampus, dalam proses bimbingan dengan penasihat akademik, dan dalam semua aspek kehidupan. Mahasiwa dapat melakukan hal ini melalui kegiatan diskusi kelompok, penggunaan bahan-bahan bacaan dan topik-topik tulisan mengenai kebaikan, penggunaan strategi dan klarifikasi nilai dan dilema moral, tidak merokok, tidak berperilaku korup, dermawan, tidak berbohong, dan sebagainya. Internalisasi nilai-nilai moral religius dapat dilakukan oleh setiap dosen, baik terencana ataupun tidak terencana.










DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo J.R. 2013. Pembelajaran Nilai Karakter. Jakarta: Rajawali Pers.

Bakry, Noor Ms. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bay. 2011. “Pengertian Internalisasi Belajar”. Diakses 8 April 2016. Dalam http://bayoscreamo.blogspot.com/2011/10/pengertian-internalisasi-belajar.html.

D.Gunarsa, Singgih. 1997. “Dasar dan Teori Perkembangan Anak”. Jakarta: Gunung Mulia.

Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies. Bandung: Jalasutra.

KBBI. “Internalisasi”. Diakses 8 April 2016.  Dalam http://kbbi.web.id/internalisasi.

Lickona, Thomas. 2013. Educating for Character:How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Jakarta: Bumi Aksara.

Manuaba, Putra. Masyarakat Kebudayaan dan Politik” Memahami Teori Konstruksi Sosial”, (Vol21,NO.3:221-230), Dalam http://mkp.fisip.unair.ac.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=119:memahami-teori-konstruksi-sosial&catid=34:mkp&Itemid=62, Diakses 8 April 2016.

Ma’arif, Syamsul Dkk. 2012. “School culture di madrasah dan sekolah”. Penelitian kolektif : Semarang.

M.S, Kaelan dan Achmad Zubaidi. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma.
M.S, Kaelan. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.

M.S, Kaelan. 2013. Negara Kebangsaan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Murdiono, Mukhamad “Strategi Internalisasi Nilai-nilai Religius dalam Proses Pembelajaran”.  FISE Universitas Negeri Yogyakarta.

Rahayu, Ani Sri. 2013. Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan(PPKn). Jakarta: Bumi Aksara.

Sutoyo. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Umar, Arsyad dkk. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SD kelas IV. Jakarta: Erlangga.


[1] http://bayoscreamo.blogspot.com/2011/10/pengertian-internalisasi-belajar.html . diakses 10 Oktober 2014
[2] http://kbbi.web.id/internalisasi. diakses 31 oktober 2014
[3] Masyarakat Kebudayaan dan Politik” Memahami Teori Konstruksi Sosial”,Putera Manuaba,(Vol 21,NO.3:221-230), http://mkp.fisip.unair.ac.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=119:memahami-teori-konstruksi-sosial&catid=34:mkp&Itemid=62, diakses 7 November 2014. 
[4] Singgih D Gunarsa, “Dasar dan Teori Perkembangan Anak”, (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), hlm,184. 
[5] Sutarjo Adisusilo, J.R, Pembelajaran Nilai-Karakter, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm 73. 
[6] Kaelan, M.S, Negara Kebangsaan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma 2013), hlm.687. 
[7] Thomas Lickona, Educating for Character:How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013),hlm,74. 
[8] Sutarjo Adisusilo, J.R, Pembelajaran Nilai-Karakter, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm,56-57. 
[9] Kaelan, M.S, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Paradigma, 2010), hlm .19. 
[10] Syamsul Ma’arif, Dkk, “School culture di madrasah dan sekolah”, (Penelitian kolektif : Semarang 2012), hlm,58 
[11] John Fiske, Cultural and Communication Studies, (Bandung: Jalasutra, 2004), hlm,167. 
[12] Ani Sri Rahayu, Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan(PPKn), (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm, 9. 
[13] Sutoyo, Pendidikan kewarganegaraan untuk perguruan tinggi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm, 20. 
[14] Arsyad Umar ,dkk., Pendidikan Kewarganegaraan untuk SD kelas IV, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm.79. 
[15] Noor Ms Bakry, Pendidikan Pancasila.,hlm,300. 
[16] Ani Sri Rahayu, Pendidikan Pancasila &Kewarganegaran, hlm, 25-26. 
[17] Kaelan dan Achmad Zubaidi, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Paradigma, 2010), hlm. 31. 
[18] Noor Ms Bakry, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 303. 
[19] Kaelan., hlm, 31-36. 
[20] Ani Sri Rahayu, Pendidikan Pancasila &Kewarganegaran, hlm,36. 
[21] Kaelan,M.S, Negara Kebangsaan Pancasila,hlm.685. 
[22] Mukhamad Murdiono. “Strategi Internalisasi Nilai-nilai Religius dalam Proses Pembelajaran”.  FISE Universitas Negeri Yogyakarta. Hlm 103-104.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar