“PERKEMBANGAN KOGNITIF MASA REMAJA”
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERKEMBANGAN KOGNITIF REMAJA
Perkembangan kognitif adalah
perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir dan
bahasa.
Masa remaja adalah
suatu periode kehidupan dimana kapsitas untuk memperoleh dan menggunakan
pengetahuan secara efisien mencapai puncaknya (Mussen, Conger & Kagan, 1969
dalam Desmita, 2009:194). Hal ini adalah karena selama periode ini, proses
pertumbuhan otak mencapai kesempurnaan. Sistem saraf yang berfungsi memproses
informasi berkembang dengan cepat. Di samping itu pada masa remaja ini juga
terjadi reorganisasi lingkaran saraf Prantal
Lobe (belahan otak bagian depan sampai pada belahan atau celah sentral).
Prantal Lobe ini berfungsi dalam aktivitas kognitif tingkat tinggi, seperti
kemampuan merumuskan perencanaan strategis atau kemampuan mengambil keputusan
(Carol & David R, 1995 dalam Desmita, 2009:194).
Perkembangan prantal Lobe tersebut sangat
berpengaruh terhadap kemampuan kognitif remaja sehingga mereka mengembangkan
kemampuan penalaran yang memberinya suatu tingkat pertimbangan moral dan
kesadaran sosial yang baru.
B.
PERKEMBANGAN KOGNITIF MENURUT TEORI PIAGET
Ditinjau dari perspektif teori kognitif Piaget,
maka pemikiran masa remaja telah mencapai tahap pemikiran oprasional formal (formal Oprational Thought), yakni suatu
tahap peerkembangan kognitif yang dimulai pada usia kira-kira 11 atau 12 tahun
dan terus berlanjut sampai remaja mencapai masa tenang atau dewasa (Lerner
& Hustlsch, 1983 dalam Desmita, 2009:195). Pada tahap ini anak sudah dapat
berfikir secara abstrak dan hipotetis. Pada masa ini, anak sudah mampu
memikirkan sesuatu yang akan atau mungkin terjadi, sesuatu yang abstrak.
Pada tahap ini remaja juga sudah mampu
berpikir secara sistematik, mampu memikirkan semua kemungkinan secara
sistematik untuk memecahkan permasalahan.
Dalam suatu eksperimen yang dilakukan Piaget
dan Inhelder (1958) dalam Desmita, (2009:195), kepada anak-anak dan remaja
diberikan 5 tabung yang berisi cairan tanpa warna. Empat tabung diberi label 1,
2, 3, dan 4 serta tabung ke-5 diberi label g. Kepada anak-anak diminta untuk
mengkombinasikan cairan-cairan tersebut sehingga diperoleh cairan yang
beerwarna kuning. Dalam melakukan tugas ini, maka anak-anak tahap
pra-oprasional akan mengkombinasikan cairan yang satu ke yang lain secara tidak
teratur. Anak-anak pada tahap kongkrit operasional akan mengkombinasikannya
secara lebih teratur dan mencoba memecahkan persoalan ini melalui Trial and Error. Mereka mencoba
menuangkan cairan dalam tabung dengan label g ke dalam masing-masing
dari keempat tabung lain, dan setelah itu ia menyerah (Santrock, 1995 dalam
Desmita, 2009:195).
Akan tetapi, anak tahap formal oprasional
mulai mampu memecahkan masalah dengan membuat perencanaan kegiatan terlebih
dahulu dan berusaha mengantisipasi berbagai macam informasi yang akan
diperlukannya untuk memecahkan masalah tersebut. oleh karena itu, mereka
mencoba semua kemungkinan kombinasi dan secara sistematis akan menambahkan
cairan dalam tabung g ke dalam keempat tabung cairan lain. Kemudian ia akan
mengambil tabung 1 dan mengkombinasikannya dengan g, kemudian dengan tabung
2, next tabung 3 dan tabung 4, serta sering mencatat tentang apa yang telah
mereka coba (Zigler & Stevenson, 1993 dalam Desmita, 2009:196).
Kemudian anak remaja untuk memperoleh cairan
yang berwarna kuning, ia dapat menjelaskan secara detil. Hal ini karena anak
remaja sudah bisa memahamiadanya berbagai macam aspek pada suatu persoalan yang
dapat diselesaikan sekaligus, tidak lagi satu persatu sebagaimana yang
dilakukan anak-anak masa konkrit operasional. Di sini terlihat bahwa
perkembangan kognitif pada masa formal operasional mencapai tingkatan tertinggi pada
keseimbangan dalam hubungannya dengan lingkungan. Remaja memasuki dunianya
dengan segala macam kemungkinan dan kebebasan untuk memikirkan sendiri.
Berdasarkan pada teori dan eksperimen dari
Piaget tersebut Keating (dalam Seifert & Hoffnung, 1994) yang dikutip dari
Desmita, 2009:196, membedakan gaya pemikiran formal operasional dari gaya
pemikiran konkrit operasional dalam tiga hal penting:
1.
Penekanan pada kemungkinan
versus kenyataan (emphasizing the
possible versus the real).
2.
Penggunaan penalaran
ilmiah (Using scientific reason). Kualitas
ini terlihat ketika remaja harus memcahkan beberapa masalah secara sistematis.
3.
Kecakapan dalam
mengkombinasikan ide-ide (skillfully
combining ideas).
C.
PERKEMBANGAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pengambilan keputusan (decision
making) merupakan salah satu
bentuk perbuatan berpikir dan hasil dari perbuatan itu disebut keputusan. Ini
berarti bahwa dengan melihat bagaimana
seorang remaja mengambil suatu keputusan, maka dapat diketahui perkembangan
pemiikirannya. Remaja adalah masa di mana terjadi peningkatan pengambilan
keputusan.
Dalam hal pengambilan keputusan ini, remaja
yang lebih tua ternyata lebih kompeten daripada remaja yang lebih muda
sekaligus lebih kompeten dibandingkan anak-anak. Meskipun demikian,
keterampilan pengambilan keputusan oleh renaja yang lebih tua sering kali jauh
dari sempurna, dan kemampuan untuk mengambil keputusan tidak menjamin bahwa
keputusan semacam itu akan dibuat dalam kehidupan sehari-hari, dimana luasnya
pengalaman seering memainkan peran yang sangat penting. Untuk itu, remaja perlu
memiliki lebih banyak peluang untuk mempraktikan dan mendiskusikan pengambilan
keputusan yang realistis.
Tidak jarang remaja terpaksa mengambil
keputusan-keputusan yang salah karena dipengaruhi oleh orientasi ,masyarakat
terhadap remaja dan kegagalannya untuk memberi remaja pilihan-pilihan yang
memadai. Oleh sebab itu sebagaimana diungkapkan oleh Daniel Keating (1990) dalam
Desmita, 2009:199), “kalau keputusan yang
diambil remaja tidak disukai, maka kita perlu memberi mereka suatu pilihan yang
lebih baik untuk mereka pilih”.
D.
PERKEMBANGAN ORIENTASI MASA DEPAN
Seperti yang dikemukakan
Elizabet B. Hurlock, 1981, dalam Samsunuwiyati, 2003:199), remaja mulai
memikirkan tentang masa masa depan mereka secara sungguh-sungguh. Remaja mulsi
memberikan perhatian yang besar terhadap berbagai lapangan kehidupan yang akan
dijalaninya sebagai manusai dewasa dimasa yang mendatang. Diantara lapangan
kehidupan dimasa depan yang banyak mendapat perhatian remaja adalah lapangan
pendidikan (Nurmi, 1959 dalam Samsunuwiyati, 2005:199), disamping dunia kerja
dan hidup berumah tangga.
Menurut G. Trosmnisdorff, 1983
dalam Samsunuwiyati, (2005:199), orientasi masa depan merupakan fenomena
motivasional yang kompleks yakni antisipasi dan evaluasi tentang dari masa
depan dalam interaksinya dengan lingkungan. Menurut Nurmi orientasi masa depan
berkaitan erat dengan harapan, tujuan, standar, rencana dan strategi pencapaian
tujuan di masa yang akan dating.
Sebagai suatu fenomena kognitif motivasional yang kompleks, orietasi masa depan berkaitan erat dengan skema kognitif yaitu suatu organisasi perceptual dari pengalaman masa lalu beserta kaitannya dengan pengalaman masa kini dan di masa yang akan datang.
Sebagai suatu fenomena kognitif motivasional yang kompleks, orietasi masa depan berkaitan erat dengan skema kognitif yaitu suatu organisasi perceptual dari pengalaman masa lalu beserta kaitannya dengan pengalaman masa kini dan di masa yang akan datang.
Menurut Nurmi, 1991 dalam Samsunuwiyati, 2005:200), skema
kognitif tersebut berinteraksi dengan tiga tahap proses pembentukan orientasi
masa depan yaitu:
1.
Tahap motivasional.
Merupakan tahap awal pembentukan orientasi masa depan remaja. Tahap ini
mencakup motif, minat dan tujuan yang berkaitan dengan orientasi masa depan.
2.
Tahap planning.
Perencanaan merupakan tahap kedua proses pembentukan orientasi masa depan
individu, yaitu bagaimana remaja membuat perencanaan tentang perwujudan minat
dan tujuan mereka.
Dalam hal ini
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)
Penentuan
subtujuan.
2)
Penyusunan rencana.
3)
Melaksanakan
rencana dan strategi yang telah disusun
3.
Tahap evaluation,
merupakan tahap akhir dari proses pembentukan orientasi masa depan. Dalam
proses evaluasi ini, konsep diri memainkan peranan yang penting, terutama dalam
mengevaluasi kesempatan yang ada untuk mewujudkan tujuan dan rencana sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki individu.
Meskipun orientasi masa depan
merupakan tugas perkembangan yang harus dihadapi pada masa remaja dan dewasa
awal, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pengalaman dan pengetahuan remaja
tentang kehidupan di masa mendatang sangat terbatas. Untuk itu remaja sangat membutuhkan bimbingan dan dukungan dari
berbagai pihak, terutama orang tua.
Penelitian Trommsdoff (1983)
telah menunjukkan betapa dukungan dan interaksi sosial yang terbina dalam
keluarga akan memberikan pengaruh yang sangat penting bagi pembentukan
orientasi masa depan remaja,terutama dalam menumbuhkan sikap optimis dalam
memandang masa depannya.
E.
PERKEMBANGAN KOGNISI SOSIAL
Menurut Dacey & Kenny
(1997), yang dimaksud dengan kognisi sosial adalah kemampuan
untuk berpikir secara kritis mengenai isu-isu dalam hubungan interpersonal,
yang berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman, serta berguna untuk
memahami orang lain dan menentukan bagaimana melakukan interaksi dengan mereka.
Salah satu bagian penting dari
perubahan perkembangan aspek kognisi sosial remaja ini adalah apa yang
diistilahkan oleh psikolog David Elkind dengan egosentrisme yakni kecenderungan
remaja untuk menerima dunia (dan dirinya sendiri) dari perspektifnya mereka
sendiri. Dalam hal ini remaja mulai mengembangkan suatu gaya pemikiran
egosentrisme, di mana mereka lebih memikirkan tentang dirinya sendiri dan
seolah-olah memandang dirinya dari atas. Remaja mulai berpikir dan
menginterpretasikan kepribadian dengan cara sebagaimana yang dilakukan oleh
para ahli teori kepribadian berpikir dan menginterpretasikan kepribadian, dan
memantau dunia sosial mereka dengan cara-cara yang unik.
Menurut David Elkind (1976 dalam John W. Santrock, 2002, hal 11), pemikiran
remaja bersifat egosentris, yakin bahwa egosentrisme remaja (adolescent
egocentrism) memiliki dua bagian yaitu:
1)
Penonton khayalan (imaginary
audience)
Merupakan
keyakinan remaja bahwa orang lain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya
dengan dirinya sendiri. Perilaku mengundang perhatian, umu terjadi pada masa
remaja, mencerminkan egosentrisme dan keinginan untuk tampil diatas pentas,
diperhatikan, dan terlihat. Bayangkan anak laki-laki kelas delapan yang
menganggap diri sebagai seorang aktor dan semua orang lain adalah penonton
ketika ia menatap kebintik kecil dicelana panjangnya. Bayangkan seorang anak perempuan
kelas tujuh yang menganggap bahwa semua mata terpaku kepada corak kulitnya
karena ada cacat yang kecil sekali pada wajahnya.
2)
Dongeng pribadi
Merupakan
bagian dari egosentrisme remaja yang meliputi perasaan-perasaan unik seorang
remaja. Rasa unik pribadi remaja membuat mereka merasa bahwa tidak seorang pun
dapat mengerti bagaimana perasaan mereka sebenarnya.
F.
PERKEMBANGAN PENALARAN MORAL
Moral merupakan
suatu kebutuhan penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman menemukan
identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan
menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi.
Sesuai dengan tahap-tahap perkembangan
moral menurut Kohlberg, tingkat penalaran
moral remaja berada pada tahap konvensional. Hal ini adalah karena
dibandingkan dengan anak-anak, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang.
Mereka sudah mulai mengenal konsep-konsep moralitas seperti kejujuran,keadilan,
kesopanan, kedisiplinan dan sebagainya. Walaupun anak remaja tidak selalu
mengikuti prinsip-prinsip moralitas mereka sendiri, namun riset menyatakan
bahwa prinsip-prinsip tersebut menggambarkan keyakinan yang sebenarnya dari
pemikiran moral konvensional.
G.
PERKEMBANGAN PEMAHAMAN TENTANG AGAMA
Bagi remaja, agama juga
memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan
oleh Adams & Gullotta (1983 (1983, dalam
Samsunuwiyati, 2003, hal 208), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga
membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan
tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang
berada didunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi
remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal
anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang
cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika baru memiliki kemampuan
berfikir simbolik tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan,maka
pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih
mendalam tentang tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap
keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Dalam suatu studi yang
dilakukan oleh Goldman (1962) tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak
dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif piaget, ditemukan
bahwa perkembangan pemahaman agam remaja berada pada tahap 3. Yaitu formal
operational religious thought, dimana remaja memperlihatkan pemahaman agama
yang lebih abstrak dan hipotesis.
H. PERUBAHAN PERKEMBANGAN KOGNITIF
REMAJA
Ada 5 perubahan perkembangan
kognitif anak remaja:
1.
Remaja
sudah bisa melihat ke depan (future) ke hal-hal yang mungkin,
termasuk mengerti keterbatasannya dalam memahami realita. atau sistem
abstraksi, pendekatan dan penalaran yang sistematis (logis-idealis), sampai ke
berfikir hipotetis adalah berdampak pada perilaku sosial, berperan dalam meningkatkan
kemampuan membuat keputusan.
2.
Remaja
mampu berfikir abstrak. Kemampuan ini berdampak dan dapat
diaplikasikan dalam proses penalaran dan berfikir logis.
3.
Remaja
mulai berfikir lebih sering tentang berfikir.berfikir itu sendiri biasa
dikenal dengan istilah Metacognition, yaitu monitoring
tentang aktivitas kognitifnya sendiri selama proses berfikir, menjdkannya
instrospektif, terkait dengan adolescence egocentrism.
4.
Pemikirannya
lebih multidimensional dibandingkan singular karena mampu
melihat dr berbagai perspektif dan lebih sensitif pada kata-kata sarkastik,
sindiran “double entendres”.
5.
Remaja
mengerti
hal-hal yang bersifat relatif, tidak selalu absolut dan sering muncul
saat remaja meragukan sesuatu dan ditandai dengan seringnya berargumentasi
dengan orang tua terutama tentang nilai-nilai moral.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perkembangan kognitif adalah perubahan
kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir dan bahasa. Masa
remaja adalah suatu periode kehidupan dimana kapsitas untuk memperoleh dan
menggunakan pengetahuan secara efisien mencapai puncaknya (Mussen, Conger &
Kagan, 1969 dalam Desmita, 2009:194).
Menurut teori kognitif Piaget, maka pemikiran
masa remaja telah mencapai tahap pemikiran oprasional formal (formal Oprational Thought). Pada tahap
ini anak sudah dapat berfikir secara abstrak dan hipotetis. Pada masa ini, anak
sudah mampu memikirkan sesuatu yang akan atau mungkin terjadi, sesuatu yang
abstrak.
Berdasarkan pada teori dan eksperimen dari
Piaget tersebut Keating (dalam Seifert & Hoffnung, 1994) yang dikutip dari
Desmita, 2009:196, membedakan gaya pemikiran formal operasional dari gaya
pemikiran konkrit operasional dalam tiga hal penting: Penekanan pada
kemungkinan versus kenyataan (emphasizing
the possible versus the real). Penggunaan penalaran ilmiah (Using scientific reason). Kualitas ini
terlihat ketika remaja harus memcahkan beberapa masalah secara sistematis.
Kecakapan dalam mengkombinasikan ide-ide (skillfully
combining ideas).
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G.R. & Gullota, T. 1983. Adolescent of Experiences. California: Wadsworth, Inc, Belmont.
Dacey, Jhon & Kenny, Mauren. 1997. Adolescent Development. New York: McGraw
Hill.
Desmita. 2009. Psikologi
Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Elkind, D. 1976. Child Development
and Education. New York: Oxford University Press.
Hurlock, Elizabeth B. 1991. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta:
Erlangga.
Goleman, Daniel. 1995. Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.
Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi
Perkembangan. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group.
Kagan. J. 1984. “The
Idea of Emotion in Human Development”. Dalam C.E. Izard, J. Kagan, &
R.B. Zajonc, (ed). Emotion Cognition and
Behavior. New York: Cambridge University Press.
Keating, D.P. 1990. “Adolescent
Thinking”. Dalam S.S Feldman & G.R. Elliott (ed). At the Treshold: The Developing Adolescent. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Lerner, Richard M. 1976. Concepts and Theories of Development. Reading: Addison-Wesley
Publishing Company.
Lerner, Richard M. & Hultsch, David F. 1983. Human Development: A Life-Span Perspective.
Mar’at, Samsunuwiyati.
2006. Psikologi Perkembangan. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Mussen, Paul H. John J. Conger & Jeromer Kagan. 1969.
Child Development and Personality. New
York: Holt, Rinehart & Winston.
Myers, David G. 1996. Exploring
Psychology. New York: Worth Publishers.
Nurmi, J.E. 1989. Adolescent’s
Orientation to the Future Development of Interest and Plans, and Related
Attributions and Affect in the Life-Span Context. Helsinki: The Finnish
Society of Science and Letters.
, 1991a. The Development of Future Orientation in a
Life-Span Context. Helsinki: University of Helsinki.
, 1991. Adolescent Development in Context. Social
Science Research Council of Finland.
, 1991b. Review: How to Adolescents See Their Future?
A Review of the Development of Future Orientation and Planning. Helsinki:
Academic Press Inc.
Piaget, J. (1970). Science
and Educational and The Psychology of The Child. New
York: Orion.
Santrock, Johm W. 1998. Child Development (8th ed). Boston: Massachusetts, dsb: McGraw Hill
Companies.
1995. Life-Span Development (5th ed). Medison:Wm.C.Brown dan Bencmark,
Inc.
Seifert, K.L. & Hoffnung, R.J. 1994. Child and Adolescent Development. Boston:
Houghton Mifflin Company.
Trommsdoff, G. 1983. Future
Orientation and Socialization”, International Journal of Psychology, 18. 318-400.
Zigler, Edward F. & Stevenson. 1993. Children in a Changing World: Development
and Social Issues. California: Books/ Cole Publishing Company, Pacific
Grove.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar